Sunday, July 14, 2019

Kisah Bangkitnya Seorang Pahlawan , M.FADLI




aslihoki.com- Pagi itu, 7 Juni 2015, tidak ada yang berbeda dengan hari-hari lainnya. Sejuk di Sentul dan senyum istri menyambut saya setelah bangun tidur. Saya benar-benar merasa segar dan optimistis menyambut balapan Asian Road Race Championship (ARRC) 2015 seri kedua yang berlangsung di Sirkuit Sentul.

Tidak ada persiapan yang berlebihan untuk balapan di Sirkuit Sentul, karena jarak antara rumah saya dan sirkuit yang dekat membuat saya tidak perlu menginap di hotel.

Fokus saya satu-satunya adalah memperbaiki capaian setelah tampil tidak memuaskan di ARRC 2015 seri pertama. Untuk meraih hasil terbaik saya membeli motor 600cc.

Dengan memiliki motor itu, saya pun jadi lebih leluasa melatih diri menunggangi motor yang memang dipakai buat balapan ARRC. Seminggu saya latihan empat kali di Sentul. Semangat untuk jadi juara di 'rumah sendiri' makin menjadi-jadi.




Optimisme lain lahir lantaran istri saya sedang hamil delapan bulan. Tidak ada yang lebih sempurna selain kemenangan dan merayakannya bersama dengan buah hati dalam beberapa pekan ke depan, itu yang saya pikirkan waktu itu.


"Nanti abis aku balapan kita cek ke dokter kandungan ya," itu kalimat yang saya ucapkan kepada Diah Asri Astyavi, istri tercinta, ketika masih di rumah sebelum berangkat ke Sentul. Saya dan istri kemudian menuju Sirkuit pada pukul enam pagi setelah menyelesaikan sarapan.

Balap ARRC selalu berlangsung dua race, yang pertama berlangsung pagi, kira-kira pukul sembilan, yang kedua kedua berlangsung sekitar pukul tiga sore. Setelah sampai sirkuit, saya bersiap di paddock tim. Berbicara dan berkomunikasi dengan tim menyambut balapan pertama. Setelah menyelesaikan persiapan, saya pun bersiap berlomba. Usai lap pemanasan, bendera start berkibar.


Lap demi lap saya lalui, hasilnya saya menempati peringkat kedua. Memang saya gagal finis pertama, tetapi itu bukan hasil yang buruk. Race pertama selesai, saya berkumpul di paddock bersama teman-teman dan istri. Berbincang soal balapan, makan siang, dan bahkan saya sempat tidur untuk mengisi tenaga sebelum race kedua.

Menjelang balapan saya kembali mempersiapkan diri dan motor. Kecuali langit yang sedikit mendung, tidak ada perbedaan yang saya rasakan dengan race pertama. Balapan pun saya lakukan, benar-benar enak, nyaman, saya terus memimpin. Saya pun menjadi pebalap pertama yang melihat bendera finis, saya juara, ambisi saya tercapai.





Tetapi kemenangan itu ternyata cuma sebentar, saya ditabrak dari belakang!

Saya akhirnya benar-benar ke rumah sakit. Lebih cepat bahkan. Bukan untuk menemani istri mengecek kondisi kehamilan jelang kelahiran, tetapi untuk menjalani rawat inap berbulan-bulan lantaran kondisi kaki saya yang tak lagi sempurna.

Sebenarnya setelah insiden tersebut, saya masih bersama kaki kiri saya selama enam bulan. Namun dengan kaki yang tidak optimal lagi, saya memutuskan untuk mengamputasinya.

Dengan satu kaki asli dan satu kaki buatan, saya pun kembali menjalani kehidupan, termasuk mengaspal lagi di Sentul.


Kembali ke Sentul dan Motivasi Ali Imammuddin

Setelah kecelakaan itu saya kemudian beralih dari balap motor ke balap sepeda dan sekarang juga ikut balap mobil. Mayoritas aktivitas tersebut saya lakukan di SirkuitSentul, tempat saya mengalami kecelakaan yang boleh dibilang menghancurkan karier saya.

Setelah akrab dengan podium juara, kemudian saya harus berbaring di kasur rumah sakit, dan itu benar-benar situasi yang sulit bagi saya. Tidak mudah untuk bangkit, saya butuh waktu untuk menerima keadaan.

Mungkin nyali dan kemauan saya untuk bangkit tidak lepas dari 'kebandelan' saya sejak kecil. Dulu waktu saya kecil memang orang-orang di sekitar yang bertugas menjaga saya selalu bilang, 'Fadli itu ampun, bandel banget!'


Terlepas dari hal tersebut, ada sebuah keyakinan spiritual yang membuat saya bangkit dan menghapus trauma.


Dalam suatu kesempatan pengajian di dekat rumah, saya sempat mendengar bahasan soal takdir. Daun yang jatuh berguguran saja itu sudah ditakdirkan, sudah ada catatannya di lauhul mahfudz, jadi kita tidak usah khawatir dengan keadaan dan kegiatan kita sekarang.

Dari sebuah kutipan ayat Alquran itu muncul kekuatan. Mungkin bisa dibilang saya tidak ada trauma sama sekali. Saya masih bisa latihan motor dengan hampir mirip seperti ketika saya masih normal. Apa saya tidak takut jatuh? Takut. Tetapi selama kita masih berusaha, hati-hati, dan tidak ceroboh, saya rasa tidak ada yang perlu ditakutkan.

Ketika ada sesuatu yang terjadi, ya itu memang sudah ditakdirkan. Allah SWT yang sudah mengatur sebaik-baiknya yang ada di dunia ini, jadi tidak usah khawatir.


Kecelakaan itu kan benar-benar tragedi yang tidak disangka-sangka. Siapa sih yang menyangka sudah menang lalu ditabrak dan kehilangan kaki? Takdir tidak boleh disalahkan sama sekali, karena itu akan mengundang setan untuk menggoda kita.

Kalau dilihat dari kutipan di atas, mungkin ada yang mengira saya sekarang lebih spiritual. Tapi sih sebenarnya enggak, hehehe.

Jujur saya masih flat-flat saja untuk urusan spiritual setelah kecelakaan itu. Bahkan boleh dibilang perbedaan nyata dari M Fadli Imammuddin sebelum kecelakaan dan setelah kecelakaan adalah kelahiran Ali Imammuddin.
Motivasi dari Ali Imammuddin

Motivasi dan semangat dari dalam diri saya juga tidak lepas dari kelahiran anak saya Ali Imammuddin. Dia lahir tidak lama setelah saya kecelakaan. Kira-kira dua minggu saya di rumah sakit, Ali lahir.

Di situ saya bertekad bangkit, berkompetisi dengan Ali untuk dulu-duluan belajar jalan. Dasarnya pebalap ya memang selalu memacu adrenalin dan selalu tidak mau kalah, hahahaha. Kebetulan saya waktu itu juara, saya bisa jalan lebih dulu ketimbang Ali.

Kelahiran Ali bukan sekadar memacu semangat saya untuk belajar jalan, tetapi juga memupuk semangat saya untuk menjadi contoh bagi anak. Saya tidak terbayang kalau saya di rumah saja, apa yang mesti anak saya contoh? Maka saya ingin menunjukkan kepada anak saya bahwa segala sesuatu kalau diperjuangkan pasti ada hasilnya.

Perjuangan saya dengan memilih sepeda sebagai 'senjata' seperti gayung bersambut. Saya memilih sepeda karena saya cinta olahraga, ketika masih balap motor juga sudah bersepeda, sementara kalau lari sepertinya tidak mungkin.

Setelah mulai bersepeda pada akhir 2016, saya kemudian ketemu pak Okto (Raja Sapta Oktohari) di sebuah daerah tempat berkumpulnya pesepeda-pesepeda di Sentul. Di situ saya ditawari menjadi atlet para cycling. Saya pun menyambutnya dengan baik.


Secara kebetulan juga setelah bertemu pak Okto saya bertemu dengan pak Puspita (Mustika Adya, pelatih para cycling). Dia melihat video saya bersepeda dari media sosial yang diunggah teman saya, Doni Tata.

Pak Puspita ini melihat saya kecelakaan di Sentul, tetapi kita memang tidak pernah berkomunikasi. Kebetulan dia kenal Doni, dia minta nomor saya dan akhirnya menghubungi saya untuk kemudian membentuk tim paracycling Indonesia pada Februari 2017.

Di lintasan yang baru, saya pun membuktikan masih mampu meraih prestasi dan akrab lagi dengan podium. Beberapa kesuksesan yang saya raih adalah emas Kejuaraan Dunia Paracycling 2018, Asian Paragames tahun 2018, Asian Track Cycling Championship 2019, Kejuaraan Asia ITT Paracycling 2019, Paracycling Thailand Cup Road & Track 2019.

Alhamdulillah saya bisa tetap mengharumkan nama bangsa, tetapi saya masih memiliki target selanjutnya yakni Paralimpiade 2020 di Jepang.

Buat teman-teman, yang normal apalagi, jangan pernah berpikir negatif. Tanpa disadari, kita ini sebetulnya kaya banget. Contohnya ya kaki saya ini. Sekarang kaki palsu yang saya gunakan ini harganya sampai ratusan juta. Intinya hidup itu harus disyukuri.



Salam Admin,Bintang77

0 comments:

Post a Comment